Minggu, 26 Juni 2011

Mutlaq Muqoyyad


MUTLAQ DAN MUQAYYAD

A.    Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq
Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Secara istilah, lafal mutlaq didefinisikan ahli ushul fiqh sebagai lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya. Sedangkan Abdul Karim Zaidan mendefinisikan lafal mutlak sebagai lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya. Dengan kata lain, lafal mutlak adalah lafal yang menunjukkan untuk suatu satuan tanpa dijelaskan secara tertentu.
Contoh lafal mutlaq dalam nash dapat diamati dari lafal raqabah yang terdapat dalam firman Allah surat al-Mujadilah, 58:3:
والذين يظاهرون من نساءهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا ذلكم توعظون به والله بما تعملون خبير
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekan seseorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercambur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat ini menjelaskan tentang kaffarat zihar bagi suami yang menyerupakan isterinya dengan ibunya dengan memerdekannya budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah seorang budak” Mengingat lafal raqabah (budak) merupakan lafal mutlaq, maka perintah untuk membebaskan budak sebagai kaffarat zihar tersebut meliputi pembebasan seorang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin atau yang kafir. Pemahaman ini didukung pula pemakaian kata raqabah pada ayat di atas merupakan bentuk nakirah dalam konteks positif.
Contoh lafal mutlaq lain dapat ditemukan pada firman Allah surat Al-Baqarah, 2:234:
والذين يتوفون منكم ويذرون ازواجا يتربصن بانفسهن اربعة اشهرا
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’ibadah) empat bulan sepuluh hari.
Lafal azwajan (isteri-isteri) dalam ayat ini merupakan lafal mutlaq. Oleh sebab itu, tidak debedakan apakah wanita itu digauli atau belum digauli atau belum digauli oleh suaminya, maka apabila suaminya meninggal iddah wanita tersebut empat bulan sepuluh hari.
Dilihat secara sepintas lafal mutlaq mirip dengan lafal ‘aam, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafal ‘amm keumumannya bersifat syumuliy (melingkupi), sementara keumuman lafal mutlaq bersifat badali (mengingatkan). Umum yang syumuliy ialah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, sementara keumuman yang badaliy adalah kulliy dari sisi tidak terhalang menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuliy. Untuk melihat perbedaan antara kedua lafal ini dapat diamati dari firman Allah di bawah ini.
  1. Firman Allah dalam surat Hud, 11:6:
ومامندابة فى الارض الاعلى الله رزقهاوىعام مستقرهاومستودعهاكل فى كتاب مبين
“Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”

Apabila diperhatikan secara seksama dalam ayat ini terdapat lafal ‘amm yang bersifat syuuliy (melingkupi), yaitu kata dabbah. Lafal ini umum karena bentuknya nakirah yang mencakup semua jenis binatang melata. Isyarat keumuman dalam ayat itu (menafikan sesuatu). Apabila lafal ‘amm pada ayat ini ditakhsis, bukan berarti menghapuskan makna-makna lain yang dikandung dari keumuman lafalnya. Makna-makna ini tetap dipandang ada, karena keumuman lafal ‘amm bersifat syumuli.
  1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2:67
واذقال موسى لقومه ان االله يا مركم ان تذبحوابقرة قالوا اتتخذناهزواقال اعوذ با الله ان اكون من الجاهلين
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. Mereka menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi seorang dari orang-orang yang jahil.”
Dari ayat ini deketahui bahwa kata baqarah yang terdapat di dalamnya merupakan lafal mutlaq yang bersifat umum lagi bersifat badaliy. Keumuman lafal mutlaq ini meliputi bermacam-macam afrad. Apabila lafal mutlaq telah ditaqyid, maka afrad-afrad lainnya sebagai cakupan dari lafal mutlaq tersebut, tidak berkaku lagi.

Lafal Muqayyad
Secara bahasa, kata muqayyad berarti terikat. Sementara secara istilah, muqayyad adalah lafal yang menunjukkan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu. Misalnya, ungkapan rajulun Iraki (seorang laki-laki asal Irak), hamba sahaya yang beriman.
Menurut Abu Zahrah pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya. Pengggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat al-Nisa’, 4:92:
ومن قتل مومناخطا فتحريررقبة مومنة
“Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”

Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memrintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekan hamba yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat al-Maidah, 5:89:
لايواخذكم الله باللغوفى ايمانكم ولكن يواخذكم بماعقدتم الايمان فكفارته اطعام عشرة مسا كين من اوسط ما تطعمون اهليكم اوكسوتهم اوتحريررقبة فمن لم يجدفصيام ثلاثة ايام ذ لك كفارةايمانكم اذاحلفتم واحفظوا ايما نكم كذالك يبين الله لكم ءاياته لعلكم تشكرون
Allah tidak menghuku kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabka sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau meberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan janganlah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar bisa kamu bersyukur (kepada-Nya).
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid daam bentuk syarat. Sebab, hal ini baru dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayyah dapat diamati pada firman Allah surat al-Baqarah, 2:187:
ثم اتمواالصيام الى الليل
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu di al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).
Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa perbedaan antara mutlaq dengan muqayyad, bahwa mutlaq menunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Misalnya, lafal raqabah yang terdepat dalam surat al-Mujadilah, 58:3 di atas adalah bentuk mutlaq karena tidak diikuti sifat apapun. Jadi, ayat ini memerintahkan memerdekakan budak dalam bentuk apapun, baik mukmin atau bukan mukmin. Sementara muqayyad menunjuk kepada hakikat sesuatu, tetapi mempertimbangkan beberapa hal, yaitu jumlah (kuantitas), sifat atau keadaan, seperti pada contoh di atas.

B.     Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
Kaidah lafazh mutlaq dan Muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
  1. Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada sauatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
  2. Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
  3. Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
  4. Mutlaq muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya salam.
  5. Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.

C.    Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamlkan kemutlakannya, selama tidak ada dalik yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
  • Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membaawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
  • Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
  • Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.


Rabu, 22 Juni 2011

Jual Beli


JUAL BELI

A.    Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli atau bai’ secara bahasa berarti menukarkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah menukarkan harta dengan harta yang lain dengan cara tertentu. Atau memberikan kepemilikan harta dengan penggantian.
Adapun dasar hukum tentang jual beli adalah firman Allah SWT:
وأحل الله البيع وحرم الربا . (البقرة: 275)
Artinya: Dan Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S. Al-Baqarah: 275)

يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم. (النساء: 29)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (Q.S. An-Nisa': 29)

Dan hadits Rasulullah SAW:
سئل النبي ص.م.: أي الكسب أطيب؟ فقال: عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور أي لا غش فيه ولا خيانة. رواه الحاكم وصححه
Artinya: Nabi SAW ditanya: Pekerjaan apa yang paling baik? Nabi menjawab: Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri (penghasilan sendiri,pen), dan setiap jual beli yang baik yakni tidak ada penipuan dan pengkhianatan. (H.R Hakim dan dishohihkan)

B.     Rukun Jual Beli
Rukun jual beli ada tiga macam (namun sebenarnya ada enam), yaitu:
1.      ‘Aqid, yaitu orang yang melakukan kegiatan jual beli. Terdiri dari dua orang yaitu penjual dan pembeli.
2.      Ma’qud ‘alaih, yaitu barang yang diperjualbelikan. Terdiri dari dua macam, yaitu barang yang dibeli dan barang yang digunakan untuk membeli.
3.      Shighat, yaitu aqad yang diucapkan dalam jual beli. Terdiri dari dua macam, yaitu ijab (penyerahan kepemilikan dari pihak penjual) dan qabul (penerimaan kepemilikan dari pihak pembeli).
Shighat dalam jual beli dibagi dalam dua macam:
a.       Shighat shorih, yaitu pernyataan yang jelas dan lugas. Seperti perkataan: “saya jual kepadamu, saya jadikan hak milikmu, dan belilah dariku”.
b.      Shighat, yaitu pernyataan yang mengandung arti kiasan. Seperti perkataan: “saya jadikan ini milikmu dengan harga begini, ambillah barang ini dengan harga sekian”

C.    Syarat syarat Jual Beli
Syarat-syarat dalam jual beli ditetapkan pada masing-masing rukunnya:
1.    Syarat-syarat terjadinya akad untuk pelaku jual beli :
a.       Jaiz attashorruf yaitu yang memenuhi empat syarat : merdeka, baligh, berakal dan rosyid.
b.      Memiliki barang yang ia jual atau yang menggantikannya (wakil, washiy, nadzir dan wali.
c.       Saling ridlo antara penjual dan pembeli.
2.    Syarat-syarat untuk barang yang diperjual belikan :
a.       Barangnya harus ada terlihat, dan jelas sifatnya.
b.      Mampu diserahkan.
c.       Boleh dimanfaatkan selain darurat.
d.      Barangnya sudah di qobdl bila membeli dari orang kedua.
e.       Barangnya kosong dari hak orang lain
3.    Syarat syarat lainnya :
a.       Harganya jelas dan diketahui.
b.      Bebas dari penghalang keabsahan yaitu
-          adanya ghoror baik ghoror sifat maupun ghoror wujud.
-          adanya paksaan.
-          waktunya terbatas.
-          adanya syarat-syarat yang merusak jual beli.
-          adanya riba.
-          adanya larangan baik yang kembali kepada dzat jual beli atau syaratnya.
c.       Menjadi lazim bila kosong dari khiyar.



RIBA

A.    Pengertian dan Hukum Riba
Riba menurut bahasa adalah tambahan (ziyadah). Sedangkan menurut istilah syar’i adalah membandingkar pertukaran dengan barang lain yang tidak diketahui persamaannya menurut ukuran syara’ pada saat aqad dilakukan atau. Hukum riba adalah haram. Sebagaimana firman Allah:
وأحل الله البيع وحرم الربا . (البقرة: 275)
Artinya: Dan Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S. Al-Baqarah: 275)

Dan hadits yang diriwayatkan Muslim:
لعن رسول الله ص.م. آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهده.
Artinya: Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, , mencatatnya dan menyaksikannya.

B.     Macam-macam riba
Riba terbagi dalam tiga macam:
1.      Riba Fadl, yaitu jual beli barang dengan yang semisal disertai adanya tambahan pada satuannya. Contoh: membeli sebuah laptop seharga 5 juta dengan 2 buah notebook masing-masing seharga 3 juta.
2.      Riba Yad, yaitu jual beli dengan mengakhirkan pembayaran kedua barang ganti atau salah satunya tanpa menyebutkan waktunya.
3.      Riba Nasa’ atau Riba Nasi’ah, yaitu jual beli barang riba yang satu jenis atau satu illat dengan tempo. Contoh membeli 2 gram emas 22 karat dengan 3 gram emas 18 karat dengan tempo, atau membeli 1 kilo beras dengan 2 kilo jagung dengan tempo.

KHIYAR

Khiyar artinya mengambil pilihan yang paling baik dalam jual beli antara melangsungkan aqad atau tidak. Khiyar terbagi tiga macam:
1.      Khiyar Majlis : yaitu hak memilih dari penjual dan pembeli untuk melangsungkan akad atau tidak, selama tidak berpisah uruf di majlis aqad.
2.      Khiyar Syarat : memberikan syarat untuk khiyar dalam tempo waktu tertentu walaupun panjang. Seperti perkataan:” saya akan beli rumah ini dengan syarat ada khiyar buat saya selama tiga hari “. Bila telah jatuh tempo berkata :” saya minta tambahan waktu tiga hari lagi “. Maka diperbolehkan karena aqad belum terjadi.
3.      Khiyar Ghobin, yaitu khiyar akibat tertipu pada barang maupun harga dengan berlebihan. Misalnya seseorang tidak tahu harga dan kualitas suatu barang.
4.      Khiyar Tadlis yaitu memperlihatkan kebagusan barang padahal tidak demikian. Seperti buku yang robek direkatkan kembali agar kelihatan masih utuh.
5.      Khiyar Aib yaitu khiyar akibat adanya aib yang mengurangi harga barang. Bila pembeli mengetahui adanya aib setelah pembelian maka ia boleh mengembalikannya, bila tidak memungkinkan maka wajib dibayar arisy (nisbat antara harga selamat dengan harganya ketika beraib). Misal: HP di pasaran harganya 1 juta, setelah dibeli ternyata terdapat cacat. Maka HP tersebut boleh dikembalikan atau meminta harga selamat (ganti rugi) atas aib tersebut.
6.      Khiyar Attakhbir Bitsaman, yaitu khiyar akibat penjual mengabarkan bahwa modalnya 100 ribu kemudian diketahui bahwa modalnya hanya 80 ribu, akan tetapi sebagian ulama ada yang menolak khiyar ini dan mengatakan bahwa tidak ada khiyar pada waktu itu, yang wajib adalah hanya mengurangi harga yang berlebihan tersebut.
7.      Khiyar akibat perselisihan antara penjual dan pembeli dalam harga atau barangnya dan tidak ada bukti sama sekali, maka keduanya saling bersumpah kemudian memfasakh jual belinya bila tidak rela kepada perkataan temannya.
8.      Khiyar akibat perubahan sifat barang sebelum aqad. Yaitu seorang pembeli membeli sesuatu atas dasar penglihatannya terdahulu, kemudian didapatinya barang tersebut berubah pada saat aqad.


REFERENSI

·         Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2010. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh Transaksi. Jakarta: Amzah.
·         Syaikh Al-Islam Abi Yahya Zakaria Al-Anshori. Fathul Wahab, Juz 1. Semarang: Toha Putra.
·         Syaikh Muhammad bin Qosim Al-Ghozi. Syarh Fathul Qorib. Surabaya: Ar-Rahmah.